1.
Motif Kawung ,
Kawung
dalam bahasa Sunda berarti buah aren atau kolang-kaling. Motif kawung
menyerupai buah kolang-kaling yang dipotomg melintang membelah sehingga
kelihatan empat biji. Motif kawung sebenarnya meniru buah aren atua
kolang-kaling yang dibelah menjadi dua seperti di atas. Sangat menarik untuk
pengantin putri.
2.
Motif Tumpal,
adalah motif yang memiliki bentuk
dasar segitiga sama kaki. Motif ini digunakan sebagai pinggiran kain selendang
atau jarik.
3.
Motif Lereng / Liris,
motif batik
yang memiliki otof pokok garis-garis miring ejajar. Untuk menambbah
keindahan motif, di antara garis-garis miring tersebut dihiasui motif-motif
tambahan, seperti bunga, daun, titik, atau yang lainnya.
4.
Motif Ceplokan
Pada dasarnya,
ceplok merupakan kategori ragam hias berdasarkan pengulangan bentuk geometri,
seperti segi empat, empat persegi panjang, bulat telur, atau pun bintang. Ada
banyak varian lain dari motif ceplok, misalnya ceplok sriwedari dan ceplok
keci. Batik truntum juga masuk kategori motif ceplok. Selain itu, motif ceplok
juga sering dipadupadankan dengan berbagai bentuk motif lainnya untuk mendapat
corak dan motif
batik yang lebih indah.
5.
Motif Batik Gurda
Gurda berasal
dari kata garuda. Seperti diketahui, garuda merupakan burung besar. Dalam
pandangan masyarakat Jawa, burung garuda mempunyai kedudukan yang sangat
penting. Bentuk motif gurda ini terdiri dari dua buah sayap (lar) dan di tengahnya
terdapat badan dan ekor.
Motif
batik gurda ini juga tidak lepas
dari kepercayaan masa lalu. Garuda merupakan tunggangan Batara Wisnu yang
dikenal sebagai Dewa Matahari. Garuda menjadi tunggangan Batara Wisnu dan
dijadikan sebagai lambang matahari. Oleh masyarakat Jawa, garuda selain sebagai
simbol kehidupan juga sebagai simbol kejantanan.
6.
Motif Batik Meru
Kata meru berasal dari Gunung Mahameru. Gunung ini dianggap
sebagai tempat tinggal atau singgasana bagi Tri Murti, yaitu Sang Hyang Wisnu,
Sang Hyang Brahma, dan Sang Hyang Siwa. Tri Murti ini dilambangkan sebagai
sumber dari segala kehidupan, sumber kemakmuran, dan segala sumber kebahagiaan
hidup di dunia. Oleh karena itu, meru digunakan sebagai motif
batik agar si pemakai selalu
mendapatkan kemakmuran dan kebahagiaan.
7.
Motif Batik Truntum
Motif
batik truntum diciptakan oleh
Kanjeng Ratu Kencana (Permaisuri Sunan Paku Buwana III), bermakna cinta yang
tumbuh kembali. Beliau menciptakan motif ini sebagai simbol cinta yang tulus
tanpa syarat, abadi, dan semakin lama terasa semakin subur berkembang (tumaruntum).
Kain motif
truntum biasanya dipakai oleh orang tua pengantin pada hari pernikahan.
Harapannya adalah agar cinta kasih yang tumoruntum ini akan menghinggapi kedua
mempelai. Kadang dimaknai pula bahwa orang tua berkewajiban untuk “menuntun”
kedua mempelai untuk memasuki kehidupan baru.
8.
Motif Batik Udan Liris
Motif ini mengandung makna ketabahan dan harus tahan menjalani hidup prihatin biarpun dilanda hujan dan panas. Orang yang berumah tangga, apalagi pengantin baru, harus berani dan mau hidup prihatin ketika banyak halangan dan cobaan. Ibaratnya tertimpa hujan dan panas, tidak boleh mudah mengeluh. Segala halangan dan rintangan itu harus bisa dihadapi dan diselesaikan bersama-sama.
Suami atau
istri merupakan bagian hidup di dalam rumah tangga. Jika salah satu menghadapi
masalah, maka pasangannya harus ikut membantu menyelesaikan, bukan justru
menambahi masalah.
Misalkan, bila
suami sedang mendapat cobaan tergoda oleh perempuan lain, maka sang istri harus
bisa bijak mencari solusi dan mencari penyelesaian permasalahan. Begitu pula
sebaliknya, jika sang istri mendapat godaan dari lelaki lain, tentu suami harus
bersikap arif tanpa harus menaruh curiga yang berlebihan sebelum ditemukan
bukti.
9.
Motif Batik Parang Kusuma
Motif Batik Parang Kusuma, bermakna hidup harus dilandasi dengan
perjuangan untuk mencari kebahagiaan lahir dan batin, ibarat keharuman bunga
(kusuma). Contohnya, bagi orang Jawa, yang paling utama dari hidup di
masyarakat adalah keharuman (kebaikan) pribadinya tanpa meninggalkan
norma-norma yang berlaku dan sopan santun agar dapat terhindar dari bencana
lahir dan batin. Mereka harus mematuhi aturan hidup bermasyarakat dan taat
kepada perintah Tuhan.
10.
Motif Batik Parang Rusak Barong
Motif batik
parang rusak barong ini berasal dari kata batu karang dan barong (singa).
Parang barong merupakan parang yang paling besar dan agung, dan karena
kesakralan filosofinya, motif ini hanya boleh digunakan untuk raja, terutama
dikenakan pada saat ritual keagamaan dan meditasi.
Motif ini
diciptakan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman
jiwanya sebagai raja dengan segala tugas kewajibannya dan kesadaran sebagai
seorang manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta.
Kata barong
berarti sesuatu yang besar dan ini tercermin pada besarnya ukuran motif
tersebut pada kain. Motif parang rusak barong ini merupakan induk dari semua
motif parang. Motif ini mempunyai makna agar seorang raja selalu hati-hati dan
dapat mengendalikan diri.
11.
Motif Batik Slobog
Slobog bisa
juga berarti lobok atau longgar. Kain ini biasa dipakai untuk melayat, dengan
tujuan agar yang meninggal tidak mengalami kesulitan menghadap Yang Maha Kuasa.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip keagamaan bahwa setelah
kematian ada kehidupan lain yang harus dipertanggung jawabkan, yaitu menghadap
Tuhan Yang Maha Esa.
12.
Motif Batik Tambal
Ada kepercayaan
bahwa bila orang sakit menggunakan kain ini sebagai selimut, maka ia akan cepat
sembuh. Tambal artinya menambah semangat hari. Dengan semangat baru itu
diharapkan harapan baru akan muncul sehingga kesembuhan mudah didapat. Selain
itu, dengan kehadiran para penjenguk, diharapkan si sakit tidak merasa
ditinggalkan dan memiliki banyak saudara sehingga keinginan untuk sembuh
semakin besar.
13.
Motif Batik Ciptoning
Motif ciptoning
ini biasanya dipakai oleh orang yang dituakan maupun pemimpin. Dengan memakai
motif ini, pemakainya diharapkan menjadi orang bijak dan mampu memberi petunjuk
jalan yang benar pada orang lain yang dipimpinnya. Makna filosofis di balik
motif ini sebenarnya bukan hanya untuk pemimpin, tetapi juga untuk setiap orang
agar mampu memimpin (menempatkan) dirinya sendiri di tengah masyarakatnya.
14.
Motif Batik Pari Kesit
Motif ini
mengandung makna bahwa untuk mencari keutamaan, harus dilandasi dengan usaha
keras dan kegesitan. Tentu usaha keras dan kegesitan itu tidak boleh
meninggalkan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Usaha keras dan kegesitan
dengan cara kotor harus dihindari karena bisa menjadi bumerang bagi diri
sendiri.
15.
Motif Batik Sido Luhur
Motif Batik
Sido Luhur mengandung makna keluhuran. Bagi orang Jawa, hidup memang bertujuan
untuk mencari keluhuran materi dan non materi. Keluhuran materi artinya segala
kebutuhan ragawi bisa tercukupi dengan bekerja keras sesuai dengan jabatan,
pangkat, derajat, maupun profesinya.
Keluhuran
materi sebaiknya diperoleh dengan cara yang benar, halal, dan sah tanpa
melakukan kecurangan atau perbuatan yang tercela, seperti korupsi, merampok,
mencuri, dan sebagainya. Sebab walaupun merasa cukup atau bahkan berlebihan
secara materi, jika harta materi itu diperoleh secara tidak benar, keluhuran
materi belum bisa tercapai.
Keluhuran
materi akan lebih bermakna lagi bila harta yang dimiliki itu bermanfaat bagi
orang lain dan bisa diberikan dalam berbagai bentuk, seperti sumbangan, donasi,
hibah, dan sebagainya. Artinya, sejak dulu masyarakat Indonesia sudah terbiasa
saling menolong.
Sementara
keluhuran budi, ucapan, dan tindakan adalah bentuk keluhuran nonmateri. Orang
yang bisa dipercaya oleh orang lain atau perkataannya sangat bermanfaat kepada
orang lain tentu akan lebih baik daripada orang yang perkataannya tidak bisa
dipegang dan tidak dipercaya orang lain.
Orang yang bisa
dipercaya oleh orang lain adalah suatu bentuk keluhuran nonmateri. Orang Jawa
sangat berharap hidupnya kelak dapat mencapai hidup yang penuh dengan nilai
keluhuran. Semua ini tidak lepas dari falsafah hidup orang Jawa, bahwa orang
tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarga, kerabat,
masyarakat, bahkan lingkungan, dan kepada Tuhan yang menciptakannya.
16.
Motif Batik Sido Drajad
Batik sido
drajad dipakai oleh besan ketika upacara pernikahan. Cara pemakaian batiknya
juga memiliki nilai pendidikan tersendiri. Bagi anak-anak, batik dipakai dengan
cara sabuk wolo. Pemakaian jenis ini memungkinkan anak-anak untuk bergerak
bebas. Secara filosofi, pemakaian sabuk wolo diartikan bebas moral, sesuai
dengan jiwa anak-anak yang masih bebas, belum dewasa, dan belum memiliki
tanggung jawab moral di dalam masyarakat.
Ketika beranjak
remaja, seseorang tidak lagi mengenakan batik dengan cara sabuk wolo melainkan
dengan jarit. Panjang jarit yang dipakai memiliki arti tersendiri. Semakin
panjang jarit, semakin tinggi derajat seseorang dalam masyarakat, dan semakin
pendek jarit, semakin rendah pula strata sosial orang tersebut dalam
masyarakat.
Bagi orang
dewasa, pemakaian batik memiliki pakem yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan. Pada laki-laki, wiru diletakkan di sebelah kiri. Sedangkan pada
perempuan, wiru diletakkan di sebelah kanan, yang berarti nengeni, seorang
putri tidak boleh melanggar kehendak suami.
17.
Motif Batik Burung Huk (Burung Merak)
Bentuk dasar
ragam hias motif burung huk adalah seekor anak burung yang baru menetas,
menggeleparkan kedua sayapnya yang masih lemah, berusaha lepas dari cangkang
telurnya, serta separuh badan dan kedua kakinya masih berada di dalam cangkang.
Motif burung huk juga sering disebut dengan motif burung merak.
Ide dasarnya
adalah pandangan hidup tentang kemana jiwa manusia sesudah mati. Dan gambaran
tersebut disimpulkan bahwa kematian hanyalah kerusakan raga, sedangkan jiwanya
tetap hidup menemui Sang Pencipta. Keunikan motif ini adalah ia selalu hadir
bersama dengan motif lainnya, misalnya ceplokan sebagai selingan motif parang,
dalam bentuk yang berbaur dengan motif lainnya.
18.
Motif Batik Parang dan Lereng
Batik parang
atau lereng menurut pakemnya hanya boleh digunakan oleh sentono dalem (anak
dari ratu). Lereng berasal dari kata mereng (lereng bukit). Sejarah motif ini
diawali dari pelarian keluarga kerajaan dari Keraton Kartasura. Para keluarga
raja terpaksa bersembunyi di daerah pegunungan agar terhindar dari bahaya.
Mereka berada di daerah-daerah yang sulit dijangkau musuh. Motif ini berarti
juga topo broto para raja yang dilakukan di lereng-lereng pegunungan untuk
mendapatkan wahyu atau wangsit. Dalam tapa brata itulah mereka dapat melihat
pemandangan gunung dan pegunungan yang berderet-deret sehingga menyerupai
pereng atau lereng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar