Asal Mula Wayang Golek
Banyak yang menyangka
bahwa seni wayang golek berasal dari India. Namun, dalam buku pengenalan wayang
golek purwa di Jawa Barat, R. Gunawan Djajakusumah membantah hal ini. Menurut
beliau wayang golek adalah budaya asli yang dikembangkan masyarakat Indonesia.
Mungkin saja didalamnya ada akulturasi dengan pengaruh budaya lain.
Perkataan wayang berasal dari “wad an hyang”. Artinya leluhur. Akan tetapi ada juga yang berpendapatan yaitu dari kata “boyangan", mereka yang berpendapatan bahwa wayang berasal dari India, nampaknya melihat dari asal ceritanya yaitu mengambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata berasal dari kitab suci Hindu, tetapi selanjutnya cerita-cerita itu diubah dan disesuaikan dengan kebudayaan Jawa.
Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangunan wayang purwa sejumlah 7 buah dengan menarik cerita menarik yang diiringi gamelan salendro. Pertunjukannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyeruai boneka yang terbuat dari kayu, bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit. Jadi seperti wayang golek oleh karena itu disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah cerita panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon wayang golek ini ada sejak masa Panembahan Ratu Cicin Sunan Gunungjati (1540-1640). Disana didaerah Cirebon disebut wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pda jaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lokn yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Sumatri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karangayar (Wiranta Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayangkulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru Ujungberung untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit.
Namun, pada perkembangan selanjutnya atas anjuran Dalam Ki Darman membuat wayang golek yang tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menguhubungan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa namun setelah orang Sunda pandai mendalang bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, sehingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif dikepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini wayang menjadi lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang digunakan dalam wayang ada 4 yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengembangkan kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan “sapta sila kehormatan seniman seniwati pedalangan Jawa Barat”. Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Ferbuari 1964 di Bandung.
Perkataan wayang berasal dari “wad an hyang”. Artinya leluhur. Akan tetapi ada juga yang berpendapatan yaitu dari kata “boyangan", mereka yang berpendapatan bahwa wayang berasal dari India, nampaknya melihat dari asal ceritanya yaitu mengambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata berasal dari kitab suci Hindu, tetapi selanjutnya cerita-cerita itu diubah dan disesuaikan dengan kebudayaan Jawa.
Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangunan wayang purwa sejumlah 7 buah dengan menarik cerita menarik yang diiringi gamelan salendro. Pertunjukannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyeruai boneka yang terbuat dari kayu, bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit. Jadi seperti wayang golek oleh karena itu disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah cerita panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon wayang golek ini ada sejak masa Panembahan Ratu Cicin Sunan Gunungjati (1540-1640). Disana didaerah Cirebon disebut wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pda jaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lokn yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Sumatri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karangayar (Wiranta Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayangkulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru Ujungberung untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit.
Namun, pada perkembangan selanjutnya atas anjuran Dalam Ki Darman membuat wayang golek yang tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menguhubungan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa namun setelah orang Sunda pandai mendalang bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, sehingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif dikepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini wayang menjadi lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang digunakan dalam wayang ada 4 yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengembangkan kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan “sapta sila kehormatan seniman seniwati pedalangan Jawa Barat”. Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Ferbuari 1964 di Bandung.
SEJARAH WAYANG GOLEK
Perkembangan wayang golek berasal atau dipengaruhi oleh latar
belakang budaya yang berbeda. Walaupun demikian, wayang golek merupakan karya
sastra lisan yang berkembang di Jawa Barat dan digemari oleh
masyarakatnya.
Perkembangan wayang golek yang terus dialami sampai sekarang
selalu menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Perkembangan wayang golek
menurut Salmun dimulai oleh perkembangan wayang kulit pada jaman Erlangga
berkuasa pada tahun 1050 M. Ketika itu hanya diceritakan seperti dongeng
(Salmun, 1961 : 10-27)
Atja & Saleh Danasasmita, (1981) mengatakan bahwa hampir dapat dipastikan bahwa orang yang membawakan dongeng (juru cerita) itu adalah dalang.
Atja & Saleh Danasasmita, (1981) mengatakan bahwa hampir dapat dipastikan bahwa orang yang membawakan dongeng (juru cerita) itu adalah dalang.
Naskah Sunda Kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian yang ditulis
tahun 1518 M, menyebutkan bahwa :
“hayang nyaho disakweh ning carita ma, geus ma: Darmajati,
Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakerma, Ramayana, Adiparwa,
Korawasrama, Bimasora, Ranggalawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri;
sing sawatek carita ma memen tanya. Jika ingin tahu semua cerita, seperti:
Darmajati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakerma, Ramayana,
Adiparwa, Korawasrama, Bimasora, Ranggalawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka,
Jarini, Tantri; ya segala macam cerita, tanyalah dalang”.
Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Sunda mengenal kesenian wayang
sudah cukup lama, seperti terbukti dengan disebutkannya beberapa judul cerita
di atas.
Pada tahun 1583, Sunan Kudus membuat wayang golek, maksudnya dapat
ditonton pada siang hari (Sopandi, 1984:69). Hasil ciptaan inilah dikemudian
hari berkembang di Jawa Barat. Daerah yang pertama dimasuki adalah Cirebon,
bahasa yang digunakannya pun masih bahasa Jawa.
Tema yang selalu ditampilkan adalah mengenai kisah-kisah Wong
Agung Menak yang mempunyai nama-nama seperti Amir, Amir Mukminin, Jayadimurti,
Jayengjurit, Jayenglaga, Jayengsatru, dll. Wayang tersebut dikenal dengan nama
Wayang Cepak.
Pada Tahun 1808-1811 setelah ada jalan pos yang dibangun Daendels,
wayang golek mulai masuk ke Priangan (Sopandi, 1984:70). Bahasa yang dipakai
sudah Bahasa Sunda, sehingga pada waktu itu mulai banyak dalang dan masyarakat
yang menggemari wayang golek.
Setelah Perang Dunia II di Jawa Barat ada wayang modern yang
diciptakan oleh R.U. Partasuwanda. Perkembangannya dimulai pada jaman Jepang.
Ketika itu orang sangat sulit untuk menyaksikan pertunjukan wayang golek karena
pemerintah Jepang membuat larangan agar tidak ada pesta yang melewati pukul
24.00 sedangkan pertunjukan wayang golek memerlukan waktu yang cukup
panjang.
Banyak masyarakat yang mengajukan permintaan pada pemerintah
Jepang agar wayang golek disiarkan melalui radio dan akhirnya jawatan radio
Jepang menerima permintaan tersebut. Dalang pertama yang menyanggupi mengisi
acara tersebut adalah R.U. Partasuwanda, tetapi waktu pertunjukannya pun hanya
3 jam. Dalam keadaan seperti itu, R.U. Partasuwanda mencoba membuat wayang
golek yang bisa dipentaskan selama 3 jam. Dengan diilhami oleh pertunjukan
sandiwara, ia menciptakan wayang model baru yang kemudian dikenal dengan wayang
modern.
Dari dalang generasi R.U. Partasuwanda sampai pada tahun 1980-an
Wayang golek mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama pada tahun
1980-an setelah hadirnya dalang (alm)
H. Ade Kosasih Sunarya dan H. Asep Sunandar Sunarya.
Wayang golek mulai mendapat tempat di masyarakat hal ini
dikarenakan kreatifitas mereka untuk bisa menarik massa. Eksistensi kedua
dalang tersebut sampai saat ini masih mempengaruhi perkembangan wayang golek di
Jawa Barat karena keduanya selalu beradaptasi terhadap apresiasi masyarakat.
Eksistensi
wayang golek di ranah Da’wah dan Pendidikan
Indonesia sebagai negara terbesar di Asia
tenggara tentu mempunyai aset yang tidak sedikit, selain kaya akan Natural
Resource (Sumber Daya Alam) juga kaya akan Culture (Budaya) sehingga tak heran
jika Indonesia menjadi negara Multikultural di seluruh dunia.
Begitupun dengan Islam, sebagai Agama yang
masuk seluruh negara di dunia, dengan Tsaqafahsehingga
peninggalan – peninggalannya menjadi suatu Hadarah yang menjadi sejarah sepanjang
masa.
Salah satunya Wayang sebagai warisan budaya
yang terlahir dari perut Nusantara ini, dan setiap pagelarannya selalu
menyampaikan pesan moral kepada seluruh manusia.
Definisi Wayang Golek
Definisi Wayang Golek
Sebelum berbincang kepada fungsi wayang, maka
alangkah lebih efisien jika penulis mengartika sesuai dengan definisinya.
Wayang mempunyai Ma’na yang mukhtalif :
Wayang berasal dari satu kata, yang berarti boneka,
ada juga yang mengatakan artinya adalah bayang.
Dan menurut para pakar / Historian, bahwa
Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat popular. Orang sering
menghubungkan kata “wayang” dengan ”bayang”, karena dilihat dari pertunjukanwayang kulit yang
memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan.
Di Jawa Barat, selain wayang kulit, yang paling
populer adalah wayang golek. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam
diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di
daerah Sunda. Kecuali wayang wong, dari semua wayang itu dimainkan oleh seorang
dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk,
menyuarakan antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain.
Menurut Bahasa Jawa :
Mulyono (1982 : 11) membuat batasan wayang
berdasarkan pengertian dari bahasa Jawa. Wayang berarti bayangan, wayang
berasal dari wa-yang, yang artinya tidak stabil, tidak tenang, terbang,
bergerak kian kemari. Awalan wa- berfungsi sebagai pembentuk kata benda. Dalam
bahasa modern awalan wa- ini tidak mempunyai fungsi. Wayang berarti bergerak
kian kemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagai substansi bayang-bayang). Sopandi
mengatakan wayang berasal dari kata Wa dan Hyang, wa artinya wadah dan hyang
artinya roh, jadi wayang berarti tempat para mahluk halus; malah menurutnya ada
juga yang memberikan batasan bahwa wayang ialah berasal dari kata bayang atau
bayang-bayang sehingga pada akhirnya, ia beranggapan bahwa wayang disini dapat
diartikan sebagai bayangan roh (1978:1)
Menurut Bahasa Sunda
Selanjutnya ialah kata wayang golek.
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Sunda yang diterbitkan LBSS, golek berasal dari
Bahasa Jawa yang artinya boneka. Dalam kata wayang golek, golek tersebut
artinya wayang berupa boneka yang terbuat dari kayu (Kamus LBSS, 1981 : 151).
Dengan demikian golek dapat diartikan sebuah boneka yang terbuat dari kayu.
Wayang golek menurut Clara (1987 : 4) ialah pertunjukan wayang yang menggunakan
boneka kayu tiga matra yang berbusana tanpa menggunakan kelir. Apabila kedua
pengertian tadi disatukan maka dapat disimpulkan bahwa wayang golek berarti
bayangan roh, yang dapat bergerak dengan dinamis, yang digambarkan dengan
boneka, yang terbuat dari kayu.
Dalang sebagai pengerak wayang.
Seorang dalang di dalam pagelaran seni wayang golek, mempunyai tanggung jawab sangat besar, karna sang dalang tak hanya menggerakan wayang saja, melainkan sang dalang harus multi talenta dan multi fungsi, sang dalang adalah seorang produser sekaligus penulis skenario, Sutradara, singer man, dan juru penerang di setiap pertunjukan wayang golek.
Tak hanya itu, seorang dalang juga harus menyampaikan 70-80 % Agama, dan sisanya pendidikan, Poltik, Ekonomi, Sosial dan budaya, jadinya knowlage adalah kebutuhan primer sang dalang.
Indonesia sebagai Center of Pupperty Education
Budaya adalah aset negara yang tak bisa di beli oleh uang sebesar apapun, maka dari itu pendidikan dalang, di dalam pewayangan hanya ada di indonesia, sekalipun ada di luar negri (Oversease) tetap yang menyelenggarakan adalah lembaga perwakilan RI sekelas Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).
Peran Wayang di Ranah Da’wah
Pagelaran wayang golek yang sering tampil di tengah-tengah masyarakat Jawa Barat Khususnya dan Umumnya di tengah masyarakat Indonesia, dalam penyampean cerita tak lepas dari keagaman, walaupun cerita yang di sampaikannya tentang Mahabrata, Rahwana, dan gatot kaca, tentu itu semua di terangi oleh Agama Islam.
Dalang sebagai pengerak wayang.
Seorang dalang di dalam pagelaran seni wayang golek, mempunyai tanggung jawab sangat besar, karna sang dalang tak hanya menggerakan wayang saja, melainkan sang dalang harus multi talenta dan multi fungsi, sang dalang adalah seorang produser sekaligus penulis skenario, Sutradara, singer man, dan juru penerang di setiap pertunjukan wayang golek.
Tak hanya itu, seorang dalang juga harus menyampaikan 70-80 % Agama, dan sisanya pendidikan, Poltik, Ekonomi, Sosial dan budaya, jadinya knowlage adalah kebutuhan primer sang dalang.
Indonesia sebagai Center of Pupperty Education
Budaya adalah aset negara yang tak bisa di beli oleh uang sebesar apapun, maka dari itu pendidikan dalang, di dalam pewayangan hanya ada di indonesia, sekalipun ada di luar negri (Oversease) tetap yang menyelenggarakan adalah lembaga perwakilan RI sekelas Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).
Peran Wayang di Ranah Da’wah
Pagelaran wayang golek yang sering tampil di tengah-tengah masyarakat Jawa Barat Khususnya dan Umumnya di tengah masyarakat Indonesia, dalam penyampean cerita tak lepas dari keagaman, walaupun cerita yang di sampaikannya tentang Mahabrata, Rahwana, dan gatot kaca, tentu itu semua di terangi oleh Agama Islam.
Pada tahun 1583, Sunan Kudus membuat wayang golek, maksudnya dapat
ditonton pada siang hari berkembang di Jawa Barat. Daerah yang pertama dimasuki
adalah Cirebon, bahasa yang digunakanya pun masih Bahasa Jawa. Tema yang selalu
ditampilkan adalah mengenai kisah-kisah Wong Agung Menak yang mempunyai
nama-nama seperti Amir, Amir Mukminin, Jayadimuri, Jayangjurit, Jayenglaga,
Jayengsatru, dll. Wayang tersebut dikenal dengan wayang cepak. Pada tahun
1808-1811 setelah ada jalan pos yang dibangun Daendels, wayang golek mulai
masuk ke Priangan (Sopandi, 1984 : 70). Bahasa yang dipakai sudah bahasa Sunda,
sehingga pada waktu itu mulai banyak dalang
dan masyarakat yang menggemari wayang golek. Setelah Perang Dunia
II di Jawa Barat ada wayang modern yang diciptakan oleh dalang R.U
Partasuwanda. Perkembangannya dimulai pada jaman Jepang ketika itu orang sangat
sulit untuk menyaksikan pertunjukan wayang golek karena pemerintah Jepang
membuat larangan agar tidak ada pesta yang melewati pukul 24.00 sedangkan
pertunjukan wayang golek memerlukan waktu yang cukup panjang. Banyak masyarakat
yang mengajukan permintaan pada pemerintah Jepang agar wayang golek disiarkan
memalui radio Jepang menerima permintaan tersebut. Dalang pertama yang
menyanggupi mengisi acara tersebut adalah R.U. Partasuanda, tetapi waktu
pertunjukannya pun hanya 3 jam. Dalam keadaan seperti itu, R.U. Partasuanda
mencoba membuat wayang golek yang bisa dipentaskan selama 3 jam. Dengan
diilhami oleh pertunjukan sandiwara, ia menciptakan wayang model baru yang
kemudian dikenal dengan wayang modern dari dalang generasi R.U Partasuanda
sampai pada tahun 1980-an wayang golek mengalami perkembangan yang sangat pesat
terutama pada tahun1980-an setelah hadirnya Dalang Ade kosasih Sunarya(Alm) dan
Asep Sunandar Sunarya. Wayang golek mulai mendapat tempat dimasyarakat hal ini
dikarenakan kreatifitas mereka untuk bisa menarik masa. Eksisitensi kedua
dalang tersebut sampai saat ini masih mempengaruhi perkembangan wayang golek di
Jawa Barat karena keduanya selalu beradaptasi terhadap apresiasi masyarakat.
Nama Tokoh-Tokoh Wayang Golek
Sejarah Ringkas......
Seni rupa sandiwara boneka berkayu atau lebih lazim jenengan - namanya Wayang Golek, tindak-tanduknya memang kelihatan seperti lagi ngagulitik atau menggolek, asal muasalnya di dataran tinggi Priangan Jawa Barat yang kerajaan buddha Pajajaran masih misésa atau menguasai pada abad XV M., tatkala itu, Sunan Giri, salah satu dari sembilan Wali Songo yang mendatangi pulau Jawa dari perbagai negeri ufuk timur seperti Persia, Turki, Mesir dan Cina untuk beruluk salam sambil mencanangkan kawibawan firman Allah, dipercaya memperkenalkan seni ini kepada penduduk setempat.
Itu lambat-laun terjungkar-jangkir sepanjang daerah Priangan, bergabung sama adat istiadat pra-Islam dan budaya khayalak ramai. Pada hakekatnya, ini dilantarankan aspeknya yang sudah merecup dalam benak masyarakat awam, tasmat menggalang faham-faham hikmah filsafat, akhlak atau malahan bermuatan kasad propaganda. Bahwasanya, setiap babak pementasan adalah bidang permata atau ibarat tematis filsafat tertentu, dengan menyirat makna tersendiri bagi penilik yang berlatar belakang undak-usuk atau tingkat pendidikan berbeda-beda. Berisikan serancaman cerita murni adapun pertikaian kebajikan melawan kedurjanaan dan segala nista kepasikan yang akhirnya cuang-caing. Tidak pelak lagi, bukannya menyerupai selangkas buah papaya bahwa Seni Wayang Golek telah menghaturkan sumbangsih yang cukup berarti dalam hal mencagarkan kesinabungan warisan khazanah budaya tamaddun sunda zaman pra-islam.
1. Anoman
Anoman Perbancana Suta, atau Hanoman, kera berbulu putih putra Batara Guru dari dewi Anjani.
Ia pernah menjabat sebagai senapati kerajaan Mahespati, mengabdi kepada Batara Rama dalam kisah Ramayana.
Ia juga memiliki umur yang sangat panjang, karena mempunyai tugas menyimpan sukma Rahwana di dalam cupunya. Itu menurut Pustaka Rajah Purwa Ramayana, yang berbeda dengan versi Ramayana dari India.
Anoman memiliki beberapa ajian. Aji Pancasona, kekuatan menerima bacokan musuh. Bayu Bajra, pukulan dengan tenaga ratusan kali sehingga bisa menjepit gunung sonara-sonara untuk menjepit tubuh dasamuka. Pancanaka, kuku ibu jarinya yang bisa digunakan sebagai senjata pembunuh yang hebat. Bayu Rota, kekuatan atau kecepatan secepat angin. Sirna Bobot, aji untuk meringankan tubuh saat terbang atau pun loncat.
2. Arjuna
Arjuna adalah putra Pandu yang ketiga dari ibu Dewi Kunti. Disebut juga panengah Pandawa.
Tinggal di Madukara, bagian dari kerajaan Amarta.
Berparas tampan, banyak disukai wanita.
Memiliki senjata pusaka keris Pancaroba, Ali-ali Ampal dan panah Pasopati.
Arjuna sangat taat kepada gurunya, yaitu Resi Drona dari kerajaan Astina.
Memilika putra salah satunya adalah Abimanyu.
3. Aswatama
Aswatama adalah putra Resi Drona (guru Pandawa dan Kurawa). Putra satu-satunya, menjadikan Aswatama sangat disayang oleh ayahnya.
4. Bambang Kaca
Bambang Kaca adalah putra Gatotkaca.
Setelah masa Bratayuda, Astina kembali dikuasai pihak Pandawa. Parikesit, cucu Arjuna, menjadi raja saat itu. Sedangkan Bambang Kaca menjadi benteng pertahanan negara Astina.
Mengenakan pakaian Kre Antakusuma (milik ayahnya). Suaranya pun mirip sekali dengan ayahnya.
5. Bambang Sumantri
Bambang Sumantri adalah keponakan Rama Bergawa. Dia mempunyai adik bernama Sokrasana yang buruk rupa.
Dia pernah dihukum oleh Arjuna Sasrabahu karena ingin menikahi calon istri Arjuna Sasrabahu, yaitu diperintah untuk memindahkan Taman Sriwedari ke alun-alun kota. Berkat bantuan adiknya taman itu bisa dipindahkan. Namun karena malu punyak adik buruk rupa akhirnya secara tidak sengaja Sokrasana terbunuh oleh kakaknya sendiri.
Sumantri mati oleh Sokrasana yang menjelma menjadi buaya ketika Sumantri berkelahi dengan Rahwana.
6. Batara Bayu
Bayu berarti angin. Batara Bayu adalah Dewa yang menguasai angin. Dia tinggal di Kahyangan Pangwalung.
Ayahnya bernama Batara Guru. Ibunya bernama Dewi Uma. Istrinya bernama Dewi Sumi
Nama lain dari Batara Bayu adalah Batara Pawana Guru, Batara Prabancana, Batara Maruta.
Batara Bayu memiliki beberapa ajian. Salah satunya adalah Aji Bayubajra. Yakni bisa mengeluarkan angin puting beliung untuk menyerang lawannya.
Dia memiliki beberapa murid. Anoman (monyet putih) dan Bima (Pandawa yang ke-2). Mereka memiliki Kuku Pancanaka, yakni senjata pada kuku ibu jarinya. Coba perhatikan pada kuku jempolnya (Batara bayu, Anoman, Bima).
7. Batara Guru
Batara Guru adalah putra Sanghyang Tunggal.
Merajai 3 alam. Alam Marcapada, alam Madyapada, dan alam Mayapada.
8. Batara Kresna
Batara Kresna adalah raja kerajaan Dwarawati dan merupakan titisan Dewa Wisnu, ditugaskan untuk menyelesaikan segala macam permasalahan yang terjadi di muka bumi.
Mempunyai senjata Gambar Lopian yang bisa melihat keadaan di seluruh belahan penjuru dunia.
9. Batara Rama
Batara Rama atau Sri Rama atau Ramawijaya adalah raja dari kerajaan Ayodya. Putra prabu Dasarata.
Beristerikan Dewi Shinta, setelah memenangkan sayembara menarik Busur Pusaka Kerajaan Mantili.
Semasa muda bernama Raden Regawa. Mendapat nama Rama setelah berhasil mengalahkan Rama Bergawa
10. Bima
Bima adalah putra Pandu yang kedua dari ibu Dewi Kunti. Menikah dengan Arimbi. Bima adalah ayahanda Gatotkaca.
Memiliki kuku pancanaka.
Ada seekor ular di lehernya. Jika Bima berbohong maka ular tersebut akan menggigit lehernya. Sehingga Bima dikenal dengan karakter yang tidak pernah berbohong.
11. Cepot
Sastrajingga alias Cepot adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen (sebetulnya Cepot lahir dari saung). Wataknya humoris, suka banyol ngabodor, tak peduli kepada siapa pun baik ksatria, raja maupun para dewa. Kendati begitu lewat humornya dia tetap memberi nasehat petuah dan kritik.
Lakonnya biasanya dikeluarkan oleh dalang di tengah kisah. Selalu menemani para ksatria, terutama Arjuna, Ksatria Madukara yang jadi majikannya. Cepot digunakan dalang untuk menyampaikan pesan-pesan bebas bagi pemirsa dan penonton baik itu nasihat, kritik maupun petuah dan sindiran yang tentu saja disampaikan sambil guyon.
Dalam berkelahi atau perang, Sastrajingga biasa ikut dengan bersenjata bedog alias golok. Dalam pengembangannya Cepot juga punya senjata panah. Para denawa (raksasa/buta) biasa jadi lawannya.
Sastrajingga merupakan tokoh panakawan putra Semar Badranaya.
Sastra adalah tulisan. Jingga adalah merah. Si Cepot adalah gambaran tokoh wayang yang mempunyai kelakuan buruk ibarat seorang siswa yang mempunyai rapot merah.
Namun demikian ia sangat setia mengikuti Semar kemana saja dia pergi.
Kehadirannya dalam setiap pagelaran wayang golek sangat dinanti-nanti karena kekocakannya. Asep Sunandar Sunarya menjadikan si Cepot sebagai kokojo / tokoh unggulan pada setiap pagelaran. Bahkan tanda tangan Asep Sunandar ditulis atas nama Cepot.
12. Dawala
Dawala adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen. Sangat setia menemani kakaknya Cepot kemana pun pergi.
13. Denawa Acung
Denawa. Biasa disebut bangsa buta. Buta itu adalah tidak melihat. Tetapi bangsa buta atau bangsa denawa bukan berarti bangsa yang tidak bisa melihat oleh matanya sendiri.
Maksudnya adalah buta akan petunjuk-petunjuk agama, atau bisa disebut juga buta hati. Sehingga prilaku bangsa denawa biasanya mencuri, merampok, membunuh, dan prilaku jahat lainnya.
Denawa acung maksudnya wayang dengan karakter bertubuh kecil bersuara kecil. Biasanya dibawakan sebagai karakter yang mudah marah.
14. Denawa Calangap
Denawa. Biasa disebut bangsa buta. Buta itu adalah tidak melihat. Tetapi bangsa buta atau bangsa denawa bukan berarti bangsa yang tidak bisa melihat oleh matanya sendiri.
Maksudnya adalah buta akan petunjuk-petunjuk agama, atau bisa disebut juga buta hati. Sehingga prilaku bangsa denawa biasanya mencuri, merampok, membunuh, dan prilaku jahat lainnya.
Denawa calangap maksudnya wayang ini mulutnya bisa menganga. Biasanya oleh para dalang digunakan sebagai sebuah karakter yang hanya bisa mengucap vokal "A" saja. Contoh: "saya akan ka jakarta jalan pajajaran lantas tabrakan sama randa."
15. Denawa Huntu
Denawa. Biasa disebut bangsa buta. Buta itu adalah tidak melihat. Tetapi bangsa buta atau bangsa denawa bukan berarti bangsa yang tidak bisa melihat oleh matanya sendiri.
Maksudnya adalah buta akan petunjuk-petunjuk agama, atau bisa disebut juga buta hati. Sehingga prilaku bangsa denawa biasanya mencuri, merampok, membunuh, dan prilaku jahat lainnya.
Denawa huntu maksudnya wayang dengan karakter giginya besar. Huntu artinya gigi.
16. Dewi Drupadi
Dewi Drupadi adalah istri Prabu Yudistira atau Darmakusuma, raja Amarta. Memiliki satu putra bernama Pancawala.
Pada masa Pandawa dihukum selama 12 tahun ditambah satu tahun oleh kurawa diperintahkan untuk menyamar, Dewi Drupadi menyamar menjadi pelayan di kerajaan Wirata bernama Malini. Patih kerajaan Wirata bernama Kicaka menyukai Malini / Dewi Drupadi dan ingin dijadikan istrinya. Tapi Malini mengaku sudah punya suami dari bangsa jin dan meminta Kicaka untuk membunuh jin itu. Kicaka menyanggupi. Durpadi minta tolong kepada Bima untuk membereskan masalahnya. Kicaka mati di tangan Bima yang mengaku suami Malini dari bangsa jin.
Dewi Drupadi dikisahkan dalam cerita "Pandawa Tutas Nyamur".
17. Gareng
Gareng adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen. Gareng biasanya selalu di rumah saja membantu ibu Sutiragen melakukan berbagai pejkerjaan rumah.
18. Gatot Kaca
Gatotkaca, salah seorang tokoh dari epos Mahabharata. Putra Arya Bima & Arimbi. Bima memberi nama anaknya itu Jabang Tutuka.
Gatotkaca sakti mandraguna dengan segala ilmu dan aji-aji pamungkasnya seperti Brajamusti, Krincing Wesi, Bajingiring, Garuda Ngapak dan sebagainya.
Dipercaya menjadi panglima perang negara Pringgadani. Dikenal dengan julukan otot kawat, tulang baja, daging besi.
Lebih dari itu dia pun memiliki jiwa seni yang tinggi. Dikenal pula sebagai pembuat arca, patung-patung dari batu.
Gatot kaca sendiri memiliki banyak nama pemberian dewa. Namun yang dipakai adalah nama Gatotkaca, nama pemberian dari Batara Guru saat di sawarga maniloka.
Saat umur 3 tahun, Jabang Tutuka diutus Batara Guru untuk melawan Naga Percona. Tapi sayang, Tutuka mati di tangan Naga Percona setelah ia menendang mata Naga Percona hingga buta sebelah matanya.
Untuk itu Batara Guru memerintahkan Batara Narada dan Batara Bayu untuk memasukan jasad Tutuka ke kawah Candradimuka. Tutuka dicetak ulang berganti wujud menjadi Gatotkaca.
19. Nakula
Nakula adalah putra Pandu yang keempat. Disebut juga Pandawa yang ke-empat. Memiliki saudara kembar yaitu Sadewa.
20. Sadewa
Seni rupa sandiwara boneka berkayu atau lebih lazim jenengan - namanya Wayang Golek, tindak-tanduknya memang kelihatan seperti lagi ngagulitik atau menggolek, asal muasalnya di dataran tinggi Priangan Jawa Barat yang kerajaan buddha Pajajaran masih misésa atau menguasai pada abad XV M., tatkala itu, Sunan Giri, salah satu dari sembilan Wali Songo yang mendatangi pulau Jawa dari perbagai negeri ufuk timur seperti Persia, Turki, Mesir dan Cina untuk beruluk salam sambil mencanangkan kawibawan firman Allah, dipercaya memperkenalkan seni ini kepada penduduk setempat.
Itu lambat-laun terjungkar-jangkir sepanjang daerah Priangan, bergabung sama adat istiadat pra-Islam dan budaya khayalak ramai. Pada hakekatnya, ini dilantarankan aspeknya yang sudah merecup dalam benak masyarakat awam, tasmat menggalang faham-faham hikmah filsafat, akhlak atau malahan bermuatan kasad propaganda. Bahwasanya, setiap babak pementasan adalah bidang permata atau ibarat tematis filsafat tertentu, dengan menyirat makna tersendiri bagi penilik yang berlatar belakang undak-usuk atau tingkat pendidikan berbeda-beda. Berisikan serancaman cerita murni adapun pertikaian kebajikan melawan kedurjanaan dan segala nista kepasikan yang akhirnya cuang-caing. Tidak pelak lagi, bukannya menyerupai selangkas buah papaya bahwa Seni Wayang Golek telah menghaturkan sumbangsih yang cukup berarti dalam hal mencagarkan kesinabungan warisan khazanah budaya tamaddun sunda zaman pra-islam.
1. Anoman
Anoman Perbancana Suta, atau Hanoman, kera berbulu putih putra Batara Guru dari dewi Anjani.
Ia pernah menjabat sebagai senapati kerajaan Mahespati, mengabdi kepada Batara Rama dalam kisah Ramayana.
Ia juga memiliki umur yang sangat panjang, karena mempunyai tugas menyimpan sukma Rahwana di dalam cupunya. Itu menurut Pustaka Rajah Purwa Ramayana, yang berbeda dengan versi Ramayana dari India.
Anoman memiliki beberapa ajian. Aji Pancasona, kekuatan menerima bacokan musuh. Bayu Bajra, pukulan dengan tenaga ratusan kali sehingga bisa menjepit gunung sonara-sonara untuk menjepit tubuh dasamuka. Pancanaka, kuku ibu jarinya yang bisa digunakan sebagai senjata pembunuh yang hebat. Bayu Rota, kekuatan atau kecepatan secepat angin. Sirna Bobot, aji untuk meringankan tubuh saat terbang atau pun loncat.
2. Arjuna
Arjuna adalah putra Pandu yang ketiga dari ibu Dewi Kunti. Disebut juga panengah Pandawa.
Tinggal di Madukara, bagian dari kerajaan Amarta.
Berparas tampan, banyak disukai wanita.
Memiliki senjata pusaka keris Pancaroba, Ali-ali Ampal dan panah Pasopati.
Arjuna sangat taat kepada gurunya, yaitu Resi Drona dari kerajaan Astina.
Memilika putra salah satunya adalah Abimanyu.
3. Aswatama
Aswatama adalah putra Resi Drona (guru Pandawa dan Kurawa). Putra satu-satunya, menjadikan Aswatama sangat disayang oleh ayahnya.
4. Bambang Kaca
Bambang Kaca adalah putra Gatotkaca.
Setelah masa Bratayuda, Astina kembali dikuasai pihak Pandawa. Parikesit, cucu Arjuna, menjadi raja saat itu. Sedangkan Bambang Kaca menjadi benteng pertahanan negara Astina.
Mengenakan pakaian Kre Antakusuma (milik ayahnya). Suaranya pun mirip sekali dengan ayahnya.
5. Bambang Sumantri
Bambang Sumantri adalah keponakan Rama Bergawa. Dia mempunyai adik bernama Sokrasana yang buruk rupa.
Dia pernah dihukum oleh Arjuna Sasrabahu karena ingin menikahi calon istri Arjuna Sasrabahu, yaitu diperintah untuk memindahkan Taman Sriwedari ke alun-alun kota. Berkat bantuan adiknya taman itu bisa dipindahkan. Namun karena malu punyak adik buruk rupa akhirnya secara tidak sengaja Sokrasana terbunuh oleh kakaknya sendiri.
Sumantri mati oleh Sokrasana yang menjelma menjadi buaya ketika Sumantri berkelahi dengan Rahwana.
6. Batara Bayu
Bayu berarti angin. Batara Bayu adalah Dewa yang menguasai angin. Dia tinggal di Kahyangan Pangwalung.
Ayahnya bernama Batara Guru. Ibunya bernama Dewi Uma. Istrinya bernama Dewi Sumi
Nama lain dari Batara Bayu adalah Batara Pawana Guru, Batara Prabancana, Batara Maruta.
Batara Bayu memiliki beberapa ajian. Salah satunya adalah Aji Bayubajra. Yakni bisa mengeluarkan angin puting beliung untuk menyerang lawannya.
Dia memiliki beberapa murid. Anoman (monyet putih) dan Bima (Pandawa yang ke-2). Mereka memiliki Kuku Pancanaka, yakni senjata pada kuku ibu jarinya. Coba perhatikan pada kuku jempolnya (Batara bayu, Anoman, Bima).
7. Batara Guru
Batara Guru adalah putra Sanghyang Tunggal.
Merajai 3 alam. Alam Marcapada, alam Madyapada, dan alam Mayapada.
8. Batara Kresna
Batara Kresna adalah raja kerajaan Dwarawati dan merupakan titisan Dewa Wisnu, ditugaskan untuk menyelesaikan segala macam permasalahan yang terjadi di muka bumi.
Mempunyai senjata Gambar Lopian yang bisa melihat keadaan di seluruh belahan penjuru dunia.
9. Batara Rama
Batara Rama atau Sri Rama atau Ramawijaya adalah raja dari kerajaan Ayodya. Putra prabu Dasarata.
Beristerikan Dewi Shinta, setelah memenangkan sayembara menarik Busur Pusaka Kerajaan Mantili.
Semasa muda bernama Raden Regawa. Mendapat nama Rama setelah berhasil mengalahkan Rama Bergawa
10. Bima
Bima adalah putra Pandu yang kedua dari ibu Dewi Kunti. Menikah dengan Arimbi. Bima adalah ayahanda Gatotkaca.
Memiliki kuku pancanaka.
Ada seekor ular di lehernya. Jika Bima berbohong maka ular tersebut akan menggigit lehernya. Sehingga Bima dikenal dengan karakter yang tidak pernah berbohong.
11. Cepot
Sastrajingga alias Cepot adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen (sebetulnya Cepot lahir dari saung). Wataknya humoris, suka banyol ngabodor, tak peduli kepada siapa pun baik ksatria, raja maupun para dewa. Kendati begitu lewat humornya dia tetap memberi nasehat petuah dan kritik.
Lakonnya biasanya dikeluarkan oleh dalang di tengah kisah. Selalu menemani para ksatria, terutama Arjuna, Ksatria Madukara yang jadi majikannya. Cepot digunakan dalang untuk menyampaikan pesan-pesan bebas bagi pemirsa dan penonton baik itu nasihat, kritik maupun petuah dan sindiran yang tentu saja disampaikan sambil guyon.
Dalam berkelahi atau perang, Sastrajingga biasa ikut dengan bersenjata bedog alias golok. Dalam pengembangannya Cepot juga punya senjata panah. Para denawa (raksasa/buta) biasa jadi lawannya.
Sastrajingga merupakan tokoh panakawan putra Semar Badranaya.
Sastra adalah tulisan. Jingga adalah merah. Si Cepot adalah gambaran tokoh wayang yang mempunyai kelakuan buruk ibarat seorang siswa yang mempunyai rapot merah.
Namun demikian ia sangat setia mengikuti Semar kemana saja dia pergi.
Kehadirannya dalam setiap pagelaran wayang golek sangat dinanti-nanti karena kekocakannya. Asep Sunandar Sunarya menjadikan si Cepot sebagai kokojo / tokoh unggulan pada setiap pagelaran. Bahkan tanda tangan Asep Sunandar ditulis atas nama Cepot.
12. Dawala
Dawala adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen. Sangat setia menemani kakaknya Cepot kemana pun pergi.
13. Denawa Acung
Denawa. Biasa disebut bangsa buta. Buta itu adalah tidak melihat. Tetapi bangsa buta atau bangsa denawa bukan berarti bangsa yang tidak bisa melihat oleh matanya sendiri.
Maksudnya adalah buta akan petunjuk-petunjuk agama, atau bisa disebut juga buta hati. Sehingga prilaku bangsa denawa biasanya mencuri, merampok, membunuh, dan prilaku jahat lainnya.
Denawa acung maksudnya wayang dengan karakter bertubuh kecil bersuara kecil. Biasanya dibawakan sebagai karakter yang mudah marah.
14. Denawa Calangap
Denawa. Biasa disebut bangsa buta. Buta itu adalah tidak melihat. Tetapi bangsa buta atau bangsa denawa bukan berarti bangsa yang tidak bisa melihat oleh matanya sendiri.
Maksudnya adalah buta akan petunjuk-petunjuk agama, atau bisa disebut juga buta hati. Sehingga prilaku bangsa denawa biasanya mencuri, merampok, membunuh, dan prilaku jahat lainnya.
Denawa calangap maksudnya wayang ini mulutnya bisa menganga. Biasanya oleh para dalang digunakan sebagai sebuah karakter yang hanya bisa mengucap vokal "A" saja. Contoh: "saya akan ka jakarta jalan pajajaran lantas tabrakan sama randa."
15. Denawa Huntu
Denawa. Biasa disebut bangsa buta. Buta itu adalah tidak melihat. Tetapi bangsa buta atau bangsa denawa bukan berarti bangsa yang tidak bisa melihat oleh matanya sendiri.
Maksudnya adalah buta akan petunjuk-petunjuk agama, atau bisa disebut juga buta hati. Sehingga prilaku bangsa denawa biasanya mencuri, merampok, membunuh, dan prilaku jahat lainnya.
Denawa huntu maksudnya wayang dengan karakter giginya besar. Huntu artinya gigi.
16. Dewi Drupadi
Dewi Drupadi adalah istri Prabu Yudistira atau Darmakusuma, raja Amarta. Memiliki satu putra bernama Pancawala.
Pada masa Pandawa dihukum selama 12 tahun ditambah satu tahun oleh kurawa diperintahkan untuk menyamar, Dewi Drupadi menyamar menjadi pelayan di kerajaan Wirata bernama Malini. Patih kerajaan Wirata bernama Kicaka menyukai Malini / Dewi Drupadi dan ingin dijadikan istrinya. Tapi Malini mengaku sudah punya suami dari bangsa jin dan meminta Kicaka untuk membunuh jin itu. Kicaka menyanggupi. Durpadi minta tolong kepada Bima untuk membereskan masalahnya. Kicaka mati di tangan Bima yang mengaku suami Malini dari bangsa jin.
Dewi Drupadi dikisahkan dalam cerita "Pandawa Tutas Nyamur".
17. Gareng
Gareng adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen. Gareng biasanya selalu di rumah saja membantu ibu Sutiragen melakukan berbagai pejkerjaan rumah.
18. Gatot Kaca
Gatotkaca, salah seorang tokoh dari epos Mahabharata. Putra Arya Bima & Arimbi. Bima memberi nama anaknya itu Jabang Tutuka.
Gatotkaca sakti mandraguna dengan segala ilmu dan aji-aji pamungkasnya seperti Brajamusti, Krincing Wesi, Bajingiring, Garuda Ngapak dan sebagainya.
Dipercaya menjadi panglima perang negara Pringgadani. Dikenal dengan julukan otot kawat, tulang baja, daging besi.
Lebih dari itu dia pun memiliki jiwa seni yang tinggi. Dikenal pula sebagai pembuat arca, patung-patung dari batu.
Gatot kaca sendiri memiliki banyak nama pemberian dewa. Namun yang dipakai adalah nama Gatotkaca, nama pemberian dari Batara Guru saat di sawarga maniloka.
Saat umur 3 tahun, Jabang Tutuka diutus Batara Guru untuk melawan Naga Percona. Tapi sayang, Tutuka mati di tangan Naga Percona setelah ia menendang mata Naga Percona hingga buta sebelah matanya.
Untuk itu Batara Guru memerintahkan Batara Narada dan Batara Bayu untuk memasukan jasad Tutuka ke kawah Candradimuka. Tutuka dicetak ulang berganti wujud menjadi Gatotkaca.
19. Nakula
Nakula adalah putra Pandu yang keempat. Disebut juga Pandawa yang ke-empat. Memiliki saudara kembar yaitu Sadewa.
20. Sadewa
Sadewa ada di sebelah kanan
Sadewa adalah putra Pandu yang kelima. Disebut juga Pandawa yang kelima. Memiliki saudara kembar yaitu Nakula.
21. Yudhistira
Yudistira adalah putra Pandu yang pertama dari ibu Dewi Kunti.
Ia adalah raja Amarta.
Ialah yang memegang pusaka sakti Layang Jamus Kalimusada.
22. Semar Badranaya
Semar Badranaya adalah penjelmaan dewa, yakni Batara Ismaya. Istrinya bernama Sutiragen putra Raja dari kerajaan Sekarnumbe. Anaknya bernama Cepot, Dewala dan Gareng.
Di Sawarga Maniloka dia mempunyai anak yaitu Batara Surya (dewa matahari).
Ia adalah tokoh wayang yang paling sakti dari semua tokoh wayang.
Semar berkulit hitam, (seperti buah manggis / manggu yang telah hitam berarti telah matang) melambangkan telah dewasa atau matang baik dalam mental dan pemikiran.
Berwajah putih. Wajah adalah cerminan dari hati. Semar berhati putih, suci, bersih.
Berkantong kosong. Semar kosong atau bersih dari sifat sirik pidik jail kaniaya iren panastren dudumpak rurumpak ngupat sumuat ujug riya takabur nyaci maki siksik belik teu kaopan teu payaan bedegong buntangul buraong kedul dan lain sebagainya. Intinya kosong dari sifat-sifat buruk manusia.
Mempunyai bentuk unik. Disebut pria tapi berbuah dada dan berbokong besar. Disebut wanita tapi berjakun. Disebut masih anak-anak atau muda tetapi berkulit keriput. Disebut berdiri tapi duduk disebut duduk tetapi terlihat berdiri. Disebut sudah tua tetapi berkuncung di kepalanya. Bermakna setiap manusia baik pria, wanita, orang tua atau anak-anak muda seharusnya berhati bersih, suci seperti putihnya wajah semar.
Sadewa adalah putra Pandu yang kelima. Disebut juga Pandawa yang kelima. Memiliki saudara kembar yaitu Nakula.
21. Yudhistira
Yudistira adalah putra Pandu yang pertama dari ibu Dewi Kunti.
Ia adalah raja Amarta.
Ialah yang memegang pusaka sakti Layang Jamus Kalimusada.
22. Semar Badranaya
Semar Badranaya adalah penjelmaan dewa, yakni Batara Ismaya. Istrinya bernama Sutiragen putra Raja dari kerajaan Sekarnumbe. Anaknya bernama Cepot, Dewala dan Gareng.
Di Sawarga Maniloka dia mempunyai anak yaitu Batara Surya (dewa matahari).
Ia adalah tokoh wayang yang paling sakti dari semua tokoh wayang.
Semar berkulit hitam, (seperti buah manggis / manggu yang telah hitam berarti telah matang) melambangkan telah dewasa atau matang baik dalam mental dan pemikiran.
Berwajah putih. Wajah adalah cerminan dari hati. Semar berhati putih, suci, bersih.
Berkantong kosong. Semar kosong atau bersih dari sifat sirik pidik jail kaniaya iren panastren dudumpak rurumpak ngupat sumuat ujug riya takabur nyaci maki siksik belik teu kaopan teu payaan bedegong buntangul buraong kedul dan lain sebagainya. Intinya kosong dari sifat-sifat buruk manusia.
Mempunyai bentuk unik. Disebut pria tapi berbuah dada dan berbokong besar. Disebut wanita tapi berjakun. Disebut masih anak-anak atau muda tetapi berkulit keriput. Disebut berdiri tapi duduk disebut duduk tetapi terlihat berdiri. Disebut sudah tua tetapi berkuncung di kepalanya. Bermakna setiap manusia baik pria, wanita, orang tua atau anak-anak muda seharusnya berhati bersih, suci seperti putihnya wajah semar.
Wayang Golek,
Diminati Namun Minim
wayang golek sudah
tak lagi diminati masyarakat? “Bisa kurang peminat,
bisa juga karena kurangnya pergelaran,”
penyajian
2. Bentuk Wayang Golek
2. Bentuk Wayang Golek
Media utama pergelaran Wayang Golek adalah
boneka yang terbuat dari kayu (umumnya jenis kayu yang ringan), ditatah/doukir,
dicat, diberi busana dan karakter sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan. Boneka
kayu yang menyerupai manusia dengan stilasi disana-sini itu disebut juga Wayang
Golek, dengan demikian nama benda peraga dan nama jenis pertunjukannya itu
sendiri sama yakni Wayang Golek.
Bentuk/badan wadag Wayang Golek sebenarnya
dapat dipisah-pisah menjadi 3 (tiga) bagian yaitu bagian kepala beserta leher,
tangan, dan badan. Ketiga bagian tersebut dibuat secara terpisah untuk kemudian
disambungkan sehingga bentuknya tampak utuh seperti “manusia”.
Bagian leher dan kepala disambungkan oleh
bamboo yang telah diraut kurang lebih sebesar jari kelingking sehingga wayang
tersebut dapat menengok ke kiri dank e kanan seperti manusia. Bagian bawah dari
bamboo itu diruncingkan, menembus badan wayang sampai ke bawah dan akhirnya
berfungsi sebagai kaki yang akan ditancapkan pada batang pisang sehingga dapat
berdiri kokoh. Dari bagian pinggang ke bawah dipasang kain yang berbentuk
sarung sehingga tangan Dalang yang memegang bambu tadi tidak tampak dari luar.
Bagian tangan dibuat terpisah terutama pada
sendi bahu dan sedi siku. Sendi-sendi itu dihubungkan dengan benang/tali
sehingga wayang tersebut dapat bergerak menyerupai manusia. Bagian tangan
tokoh-tokoh wayang tertentu diberi kelat bahu (hiasan pangkal lengan) atau
gelang. Demikian juga pada bagian-bagian tubuh wayang yang penuh dengan
manik-manik, anting telinga, badong (hiasan punggung), keris dan sebagainya.
Adapun bentuk badan raut wajah, pakaian, hiasan, disesuaikan dengan karakter
dan kedudukan tokoh wayang yang bersngkutan.
3. Sumber Cerita
Cerita pada pertunjukan Wayang Golek Sunda
umumnya bersumber kepada kitab Arjuna Sasrabahu, Ramayana, dan Mahabarata,
yaitu kitab-kitab yang berasal dari kebudayaan Hindu di India. Namun cerita
yang paling banyak digemari masyarakat adalah Mahabarata, bahkan dari lakon
induk ini telah lahir berpuluh-puluh cerita sempalan/carangan yang merupakan
hasil kreatifitas para dalang.
4. Musik
Musik yang dipergunakan untuk mengiringi
pergelaran Wayang Golek adalah karawitan Sunda yang berlaraskan Pelog/Salendro.
Instrumen musik tersebut ditabuh oleh beberapa orang Nayaga atau Juru Gending,
adapun alat musik tersebut lengkap adalah sebagai berikut :
·
Saron 1
Saron 2 - Peking - Demung - Selentem
·
Bonang -
Rincik - Kenong - Gambang
·
Rebab -
Kecrek - Kendang - Bedug
·
Gong
Kedudukan musik dalam pergelaran Wayang Golek
demikian pentingnya, ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pertunjukan itu sendiri. Mulai dari tatalu (overture) kawin/lagu, tari dan
perang wayang, dialog, pembangunan suasana, pengisi celah antar adegan,
semuanya diiringi dengan musik. Di samping itu, musik itu pun harus disesuaikan
dengan karakter-karakter wayang yang diiringinya
Misalnya :
1.
Satria
Ladak, seperti Narayana, Karna, Salya, Somantri, harus diiringi dengan gending
gawil
2.
Satria
Lungguh, seperti Arjuna, Abimanyu, Pandu, Semiaji, diiringi dengan gending
banjar Sinom atau Udan Mas
3.
Ponggawa,
seperti Gatotkaca, Indrajit, Baladewa, biasa diiringi dengan gending bendrong,
Waled, dan Macan Ucul.
4.
Raja-raja,
seperti Kresna diiringi dengan gending Kastawa, Rahwana dengan gending Gonjing
atau genggong
5. Sinden/Juru Kawih
Sinden atau Pasinden, dalam pergelaran Wayang
Golek sering pula disebut Juru Kawin, Juru Sekar, atau Suarawati. Tugasnya
adalah melantunkan lagu/kawin untuk mendukung sajian Dalang. Sebagai pendukung,
tentu saja Pasinden ini tidak dibenarkan melantunkan lagu semena-mena, ia harus
mampu mendukung apa yang sedang dan akan dibawakan oleh Dalang. Misalnya saat
Dalang membawakan adegan sedih maka syair (rumpaka) lagunya pun harus bermakna
sedih, saat Dalang membawakan adegan romantis maka syairnya pun harus romantis.
Demikian juga saat Dalang akan menceritakan adegan di Astina, maka Pasinden ini
terlebih dahulu harus mampu memberikan gambaran keadaan Negara Astina kepada
penonton melalui syair-syair lagunya.
Bahasa yang digunakan dalang dan bahasa yang
digunakan Pasinden jelas berbeda fungsi. Bahasa Dalang fungsinya untuk
mengungkapkan cerita, sedangkan bahasa yang digunakan Pasinden untuk memberikan
gambaran dan mempertegas lukisan-likisan peristiwa yang dituturkan Dalang.
Pada saat jeda atau pengisi celah antar
adegan (saat Dalang istirahat), Pasinden ini biasanya diberi kesempatan untuk
membawakan lagu/kawin lepas yang tidak terikat dengan cerita. Sering pula
lagu-lagu itu dipesan oleh penonton dengan memberi tips yang tidak ditentukan besar-kecilnya.
Sebuah pergelaran Wayang Golek umumnya
memerlukan antara 2-5 orang Pasinden ditambah dengan Alok atau Wirasuara
(pria). Semuanya tentu saja dituntut harus memiliki suara yang bagus dengan
kepekaan yang tinggi terhadap musik dan karater Dalang
6. Bahasa dan Sastra Pedalangan
Pada dasarnya bahasa/percakapan antar tokoh
dalam pergelaran Wayang Golek adalah bahasa daerah, dalam hal ini adalah bahasa
Sunda dengan undak-undaknya yang disebut Amardibasa atau tata bahasa. Walaupun
demikian, untuk tokoh-tokoh wayang tertentu seperti Bima dan Togog umumnya
menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut dilakukan para Dalang
untuk memberikan variasi dan karakter pada wayang yang berjumlah ratusan.
Demikian juga dalam penyampaian prolog yang
dalam istilah teknisnya disebut Murwa dan Nyanda, pada umumnya para Dalang
menggunakan bahasa Jawa Kuno yang dituturkan sambil dinyanyikan dalam lagu
tertentu. Prolog ini sebenarnya berisi penuturan yang menggambarkan suasana
adegan yang sedang atau akan digarap sang Dalang.
Selain Murwa dan Nyandra, dalam sastra
pedalangan dikenal juga Suluk dan Kakawen yang fungsinya untuk menggambarkan
suasana dan karater wayang yang sedang ditampilkan. Perbedaan Suluk lebih
menitikberatkan kepad bahasanya sedangkan Kakawen kepada karawitannya, terutama
tentang melodi. Baik Suluk atau kakawen, keduanya dituturkan/dinyanyikan dengan
menggunakan bahasa Jawa Kuno. Pada perkembangan selanjutnya para Dalang mulai
ada yang menggunakan bahasa Sunda, baik untuk Murwa dan Nyandra, atau untuk
Suluk dan Kakawen
Dalam menyempaikan lakon/cerita, seorang
Dalang tidak dibenarkan menggunakan bahasa yang vulgar dan tidak beraturan.
Untuk itu disusunlah rambu-rambu khusus yang disebut Panca Curiga atau Panca S.
Lengkapnya Panca S itu adalah Sindir, Silib, Siloka, Simbul dan Sasmita yang
mempunyai ari sebagai berikut:
6.1 Sindir
Adalah kritik-kritik, kecaman-kecaman atau
pujian yang di ungkapkan dalam suatu cerita, yang disusun sedemikian rupa
sehingga harus serta tidak secara langsung menyinggung hati yang dikritik atau
dikecamnya.
6.2 Silib
Silib adalah suatu penerangan atau nasihat
yang diselipkan di dalam suatu tema, babak atau adegan tertentu.
6.3 Siloka
Siloka adalah kalimat-kalimat yang harus
digali kembali bila ingin mengetahui arti yang sesungguhnya.
6.4 Simbul
Simbul adalah perlambang yang harus dicari
atau ditafsirkan sendiri apa makna yang sesungguhnya.
6.5. Sasmita
Yang dimaksud sasmita adalah isyarat atau
pertanda
Hakikatnya Panca Curiga tersebut adalah suatu
kesatuan yang utuh dan antara satu sama lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan.
Fungsinya adalah untuk memberikan “batasan” kepada Dalang dan Seniman pendukung
Wayang Golek agar dalam mengucapkan kata (langsung), karena hal itu dapat
menyinggung orang lain serta menurunkan derajat dan nilai seni pedalangan yang
mereka anggap adiluhung.
7. Susunan Pengadegan
Yang dimaksud dengan susunan pengadegan
disini adalah pola cerita atau Struktur Dramatik. Alur cerita dalam pergelaran
Wayang itu tidak begitu penting sehingga kemapanan pola cerita tidak akan rusak
karenanya.
Seraca garis besar Susunan Pengadegan itu
terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu : Karatonan, Pasebanan, Bebegalan,
Karaton lain, Perang Papacal, Gara-gara, Panditaan, Perang Kembang, Perang
Barubuh, dan Karatonan.
7.1. Karatonan
Menceritakan keadaan di keratin Negara lawan
(antagonis) yang biasanya sedang menghadapi kesulitan besar. Para Pembesar
negeri itu tengah bermusyawarah untuk mencari jalan keluar dari kesulitan,
kemudian salah seorang yang hadir mengajukan satu cara. Sang Raja
menyetujuinya, kemudian menugaskan para Pembesar untuk menyiapkan diri.
7.2. Pasebanan
Para pembesar Negara sedang mengadakan
persiapan dengan bala tentaranya di Paseban. Mereka mendapat tugas dari
rajanya, yang intinya perintah tersebut akan merugikan pihak lain. Rombongan
itu pergi menuju Negara lawan dipimpin oleh Senapati andalannya. Pimpinan
rombongan biasanya akan mengendarai kuda atau gajah yang akan divisualisasikan
Dalang dalam bentuk tarian Jaranan yang menarik
7.3. Bebegalan
Saat di sebuah hutan, rombongan ini dihadang
oleh kawanan Raksasa yang marah karena terganggu ketenteramannya. Perang tak
dapat dihindari dan akhirnya Raksasa itu dapat dikalahkan Rombongan melanjutkan
perjalanannya.
7.4. Karaton Lain
Menceritakan keadaan di keratin Negara lain,
yaitu keratin tokoh utama/protagonist. Keraton inipun biasanya tengah
menghadapi masalah. Misalnya kehilangan pusaka, sakit, mimpi buruk Sang Raja,
dan sebagainya. Saat mereka sedang bermusyawarah, tiba-tiba dating pasukan
lawan yang membuat kerusuhan.
7.5. Perang Papacal
Terjadi peperangan “kecil” antara kedua belah
pihak Perang ii bias dimenangkan oleh si baik atau si jahat, tapi umumnya si
Jahat tersebut dapat melarikan diri dengan membawa apa yang diingininya.
7.6. Gara-Gara
Gara-gara ini adalah adegan lawak yang
dilakukan oleh para Punakawan (Cepot, Dawala, Gareng) untuk menghibur ksatria
asuhannya yang sedang berguru di sebuah Patapan. Adegan ini biasanya sangat
dinanti-nantikan penonton karena penuh canda dan tawa sehingga dapat menghilangkan
rasa kantuk. Setelah lawakan usai, muncullah ksatria (tokoh utama) tersebut
dengan Pendita yang menjadi gurunya. Sang Guru memberikan wejangan kepada
muridnya. Adegan diakhiri dengan perginya sang tokoh utama diiringi oleh para
Punakawan untuk menunaikan Darma Baktinya.
7.7. Perang Kembang
Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan
rombongan lawan sehingga terjadi pertempuran. Dalam pertempuran ini musuh dapat
dikalahkan sehingga mereka melarikan diri.
8.8 Perang Barubuh
Tokoh utamanya mengejar musuh sampai
kenegaranya untuk menuntut balas dan menyelematkan apa yang telah dicurinya
oleh pihak lawan, maka terjadilah perang besar (adegan klimaks) dan diakhiri
dengan kekalahan pihak musuh. Raja musuh tersebut dapat ditawan atau
ditewaskan.
8.9 Karatonan
Seluruh adegan biasanya berakhir di sebuah
keratin dengan dihadiri oleh seluruh keluarga tokoh utama. Kesimpulan akhirnya
kejahatan akan dikalahkan oleh kebajikan.
9. Waktu dan Tempat Pertunjukan
Wayang Golek Sunda dapat dipertunjukkan siang
hari ataupun malam. Hal ini dikarenakan pergelaran tersebut tidak menggunakan
kelir seperti halnya pergelaran Wayang Kulit dari Jawa Tengah atau Jawa Timur.
Pertunjukan siang hari biasanya dimulai pukul
09.00 dan berakhir pukul 16.00 WIB, sedangkan pertunjukan malam hari
diselenggarakan mulai pukul 21,30 sampai menjelang azan Subuh.
Tempat pertunjukan bias dilaksanakan dimana
saja, di dalam ruang tertutup atau di tempat terbuka asal tempat tersebut mampu
menampung jumlah pemain dan penontonnya. Baik di dalam ruangan ataupun di
tempat terbuka pergelaran wayang golek membutuhkan panggung. Panggung tersebut
biasanya lebih tinggi dari pada kedudukan penonton, hal ini dimaksudkan agar
para penonton tersebut dapat melihat dengan jelas jalannya pertunjukan.
Di atas panggung dipasang dua batang pohon
pisang (gedebog) yang panjangnya kurang-lebih 1,5 meter sebagai area permainan
atau untuk menancapkan wayang. Posisi kedua gedebog itu ditinggikan sekitar 80
cm dengan memakai penopang dari kayu yang telah dosediakan. Di kanan-kiri area
pertunjukan dipasang pula gedebog dengan posisi yang lebih rendah, fungsinya
adalah untuk menancapkan wayang-wayang yang sedang tidak terpakai.
Wayang-wayang tersebut dipasang berjajar menurut aturan yang telah baku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar